Minggu, 10 April 2011

MAKALAH MANUSIA KERAGAMAN DAN KESETARAAN

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang
Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih tajam.
Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa telah membekali bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa Bhinneka Tunggal Ika, membekali hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa yang bersifat mendasar.
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkesetaraan. Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan” adalah rujukan yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang mengikat warga negara.
Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan kekuatan besar bagi kemajuan dan kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan kehancuran.
Semangat multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita miliki dan kembangkan kemampuan belajar hidup bersama dalam multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar hidup bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan memfungsionalkan semangat multikulturalisme.
Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan belajar hidup bersama di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya (cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding), dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Keragaman dan kesetaraan adalah hal yang saling berkaitan satu sama lain
2. Keragaman dan kesetaraan adalah sifat dasar dari manusia dan bangsa Indonesia menjadikan sebagai bingkai dasar Negara kesatuan Republik Indonesia
3. Mengetahui dan mengenali bagaimana masyarakat Indonesia mengenali dan mengelola keragaman dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Semboyan “ Bhineka Tunggal Ika”

Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu Sosial Budaya Dasar dan menambah pemahaman tentang kemajemukan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.

BAB II
PEMBAHASAN
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan dan keragaman. Konsep kesetaraan (equity) bisa dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, baik berupa undang-undang, maupuin norma, sedangkan pendekatan substantif mengkaji konsep kesetaraan berdasarkan keluaran / output, maupun proses terjadinya kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status sosial, dan berbagai hal lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan. Sedangkan konsep keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Kalau kita perhatikan lebih cermat, kebudayaan Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang bertolak belakang. Kalau di Barat budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia) sedangkan Timur, yang diwakili oleh budaya India, Cina dan Islam, menunjukkan ciri teosentris (berpusat pada Tuhan.
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi, mengandung elemen dasar serba manusia, manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Sedangkan Timur mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan keberagaman, berdasarkan apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajarannya.
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya pada suatu masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada berbagai periodisasi kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan itu Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara karena kesamaan ras. Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang.
1. Mengenali dan mengelola keragaman masyarakat di Indonesia
Tidak ada masyarakat yang seragam. Setiap kelompok, baik di tingkat negara maupun di tingkat komunitas, dibangun atas berbagai macam identitas. Untuk dapat berfungsi dengan baik, kelompok tersebut harus mampu mengenali dan mengelola keragaman yang ada.
Identitas dan Salient Identity
Secara mudah, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat given. Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, afiliasi politik, dan profesi. Di samping itu, ada pula identitas yang terkait dengan pencapaian, seperti pemenang/pecundang, kaya/miskin, pintar/bodoh.
Ada kalanya, sebuah identitas terkesan lebih mencolok atau berarti – dibanding lainnya. Sebelum penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi identitas pembeda yang paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC, identitas Muslim/nonMuslim yang sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian menjadi penting bagi masyarakat Amerika Serikat.
Identitas agama dan etnisitas biasanya mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena keduanya dianggap lebih rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status sosial (kaya/miskin, ningrat/jelata, berpendidikan/tidak berpendidikan), kondisi fisik (sehat/sakit/diffable/butawarna), fungsi dan profesi (produsen/konsumen, guru/siswa, dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi politik, ideologi, gaya hidup (moderat/militan), dan lain sebagainya juga perlu dikelola. Hal ini bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan juga untuk memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka Tunggal Ika dan Unity in Diversity lebih ditujukan untuk mengelola keragaman agama dan etnisitas semata.
Jumlah, Struktur, dan Identitas Dominan
Does number count? Apakah jumlah berpengaruh? Pertanyaan ini penting dijawab ketika mengelola keragaman. Ada kalanya, ketidakselarasan hubungan sangat terkait dengan ketimpangan jumlah (mayoritas-minoritas). Namun, ketidakselarasan juga dapat timbul dari ketimpangan yang sifatnya lebih struktural seperti ketimpangan kekuasaan, sumber daya, pengaruh, keahlian, dan sebagainya.
Ketidakpekaan terhadap komposisi mayoritas-minoritas serta ketimpangan struktural berperluang memunculkan masalah. Beberapa di antaranya adalah:
Tirani mayoritas
Dalam kelompok yang komposisi mayoritas-minoritasnya mencolok, mekanisme-mekanisme pengambilan keputusan yang menekankan pada jumlah (sepert imisalnya voting) perlu dihindari karena cenderung melimpahkan kekuasaan pada mayoritas saja. Jika hubungan mayoritas-minoritas tidak kondusif, kekuasaan yang terpusat pada mayoritas dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas adalah ketika mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih disahkannya undang-undang segregasi berdasar warna kulit – akibatnya, orang kulit hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan kamar mandi khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit hitam, dll.
Ketidakterwakilan
Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakterwakilan. Di antaranya adalah keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi mereka tidak dianggap penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang laki-laki dewasa. Contoh lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus atau asrama yang tidak dikonsultasikan dengan mahasiswa atau penghuni asrama.

Sistem dan sarana (publik) yang tidak ramah guna
Umumnya, proses merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan dengan kebutuhan mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket pelayanan, letak telfon di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu tinggi untuk jangkauan anak-anak atau pengguna kursi roda.



Mengelola Keragaman
Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:
• Untuk mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain
• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter, ekspektasi, dll, makan bersama, saling berkunjung, dll
• Untuk mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang bersifat inklusif dan lintas identitas, bukan yang bersifat eksklusif
• Untuk mempelajari ritual dan falsafah identitas lain
• Untuk mengembangkan empati terhadap identitas yang berbeda
• Untuk menolak berpartisipasi dalam prilaku-prilaku yang diskriminatif



2. Memahami Masyarakat Multikultural
Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme. Kebudayaan merupakan sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan budaya negara-bangsa Indonesia selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Dengan kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang sifatnya majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari kebudayaan masyarakat yang lebih kecil.
Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Sehingga, bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat dan kelancaran tata kehidupan masyarakat.
Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya – terdiri dari sedikitnya 500 suku bangsa, maka multikulturalisme hendaknya tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus diperjuangkan sebagai landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Upaya itu harus dilakukan jika melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, beberapa waktu lalu. Konflik itu mengindikasikan belum tuntasnya pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia. Munculnya konflik antarsuku, misalnya, menunjukkan belum dipahaminya prinsip multikulturalisme yang mengakui perbedaan dalam kesetaraan. Penanaman nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat tradisional merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi terhadap perbedaan dalam kemajemukan.
3. Kesetaraan dalam kehidupan masyarakat
Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini di mulai oleh manusia. Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hampir tidak terdengar, pada ribuan tahun yang lalu sudah ada. Tingkatannya rakyat jelata, tetapi berkeinginan agar menjadi sepadan dengan para bangsawan, dengan para orang kaya serta berkuasa bahkan menjadi anggota kalangan Sang Baginda Raja. Kalau kita mau memikirkan masak-masak keinginan untuk setara itu, biasanya dan selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum yang sedang atau sudah beruntung.
Sudah adakah yang sebaliknya? Mungkin saja pernah ada dan contohnya bisa kita ambil misalnya saja seorang raja yang ingin hidup seperti rakyat biasa, seorang pemimpin atau khalifah yang amat merakyat. Mungkin yang dijalani oleh Siddharta Gautama Budha adalah seperti itu, seorang yang dilahirkan sebagai anak seorang raja Suddhodana yang memimpin bangsa Shakya. Daerah kekuasaan sang Raja Suddhodana, terletak di daerah yang pada jaman sekarang dikenal dengan nama Negara Nepal. Presiden Iran Achmad Dinejad adalah contoh lain yang paling mengena. Seorang penguasa seperti dia, masih hidup dirumahnya yang kecil sejak dia masih dosen, tidur bukan diatas tempat tidur, tetapi diatas kasur yang digelar dilantai, kalau bersembahyang di dalam masjid, dia duduk dimana saja, ditengah jemaah lain, tidak menuju ke saf paling depan seperti Presiden Indonesia, yang selalu begitu.
Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin sekali adalah karena jurang yang memisahkan kaum yang merasa dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai, semakin curam dan semakin lebar saja. Kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain.Republik kita yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 62 tahun saja tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan makmur yang menjadi idaman seluruh rakyat Indonesia tidak pernah datang sampai sekarang dan kemungkina besar juga di masa yang akan depan nanti.
Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan derajat, peringkat, kondisi serta kemampuan setiap perorangan ketingkat yang diingininya, dengan upaya sendiri-sendiri untuk tahap awal. Ini adalah satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya untuk membentuk massa-mass forming. Mass forming seperti ini akan menjadi solid-utuh kalau para pembentuknya memang mempunyai peringkat yang setara dan sepadan. Kalau isi para pembentuknya tidak sama kemampuannya, visinya dan tugasnya, maka massa yang terbentuk akan tidak utuh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah bahwa setiap orang yang mempunyai ambisi untuk menggerakan massa untuk mencapai kesetaraan, kurang mengamati sekelilingnya sendiri.
Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara manusia Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan perilaku bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural dan multikultural itu. Identitas kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.


BAB III
3.1 KESIMPULAN
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu Keragaman.
Kesetaraan bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI dan juga keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan hukum ). Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang berkepanjangan.
Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan harus di tanamkan sejak dini kepada generasi muda penerus bangsa.
3.2 SARAN
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi / kelompok manusia harus memiliki kesadaran diri terhadap realita yang berkembang di tengah masyarakat sehingga dapat menghindari masalah yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan sebagai sifat dasar manusia.





DAFTAR PUSTAKA

Siswono Yudo Husodo. 2009. Pancasila dan keberlanjutan NKRI
( http://www.liveconector.com , dikutip tanggal 19 Oktober 2009 )

Ilmu Sosial Budaya Dasar
( http://yudihartono.wordpress.com/ )

M Zaid Wahyudi. 2009. Jadikan Toleransi sebagai Modal. Artikel-artikel
Islam ( http://ajaranislam.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
2009. Mengenali dan Mengelola Keragaman

( http://pdfdatabase.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
Agung mulyana. “Memahami Masyarakat Multikultural”, Suara Karya,
30 November 2006

Ignatius Yunanto. 2008. Multikulturalisme sebuah perjuangan panjang bangsa
Indonesia. ( http://joenanto.multyply.com, diakses tanggal 20 Oktober 2009)

Rujito. 2009. Identitas Nasional Indonesia
( http://maharsi-rujito.blogspot.com, diakses tanggal 23 Oktober 2009 )

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang
Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan hierarki atau jenjang sosial yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa, kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Di Indonesia, berbagai konflik antarsukubangsa, antarpenganut keyakinan keagamaan, ataupun antarkelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan demokratis.
Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai sosial yang berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih tajam.
Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman masyarakat Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan adalah pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pencapaian kemajuan peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri bangsa telah membekali bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa Bhinneka Tunggal Ika, membekali hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa yang bersifat mendasar.
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berkesetaraan. Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan” adalah rujukan yang melandasi seluruh produk hukum dan ketentuan moral yang mengikat warga negara.
Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan kekuatan besar bagi kemajuan dan kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara bangsa yang beragam yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan kehancuran.
Semangat multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling pengertian merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk belajar terus-menerus atau belajar berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat multikulturalisme terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu, penting kita miliki dan kembangkan kemampuan belajar hidup bersama dalam multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar hidup bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya, kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan memfungsionalkan semangat multikulturalisme.
Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan belajar hidup bersama di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya (cultural passing over), pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding), dan pembelajaran lintas budaya (learning a cross culture).
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Keragaman dan kesetaraan adalah hal yang saling berkaitan satu sama lain
2. Keragaman dan kesetaraan adalah sifat dasar dari manusia dan bangsa Indonesia menjadikan sebagai bingkai dasar Negara kesatuan Republik Indonesia
3. Mengetahui dan mengenali bagaimana masyarakat Indonesia mengenali dan mengelola keragaman dan kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Semboyan “ Bhineka Tunggal Ika”

Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan di Bidang Ilmu Sosial Budaya Dasar dan menambah pemahaman tentang kemajemukan diharapkan bermanfaat bagi kita semua.

BAB II
PEMBAHASAN
Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berkaitan dengan konsep kesetaraan dan keragaman. Konsep kesetaraan (equity) bisa dikaji dengan pendekatan formal dan pendekatan substantif. Pada pendekatan formal kita mengkaji kesetaraan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku, baik berupa undang-undang, maupuin norma, sedangkan pendekatan substantif mengkaji konsep kesetaraan berdasarkan keluaran / output, maupun proses terjadinya kesetaraan.
Konsep kesetaraan biasanya dihubungkan dengan gender, status sosial, dan berbagai hal lainnya yang mencirikan perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan. Sedangkan konsep keragaman merupakan hal yang wajar terjadi pada kehidupan dan kebudayaan umat manusia. Kalau kita perhatikan lebih cermat, kebudayaan Barat dan Timur mempunyai landasan dasar yang bertolak belakang. Kalau di Barat budayanya bersifat antroposentris (berpusat pada manusia) sedangkan Timur, yang diwakili oleh budaya India, Cina dan Islam, menunjukkan ciri teosentris (berpusat pada Tuhan.
Dengan demikian konsep-konsep yang lahir dari Barat seperti demokrasi, mengandung elemen dasar serba manusia, manusia-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Sedangkan Timur mendasarkan segala aturan hidup, seperti juga konsep kesetaraan dan keberagaman, berdasarkan apa yang diatur oleh Tuhan melalui ajaran-ajarannya.
Penilaian atas realisasi kesetaraan dan keragaman pada umat manusia, khususnya pada suatu masyarakat, dapat dikaji dari unsur-unsur universal kebudayaan pada berbagai periodisasi kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan itu Negara kebangsaan Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara karena kesamaan ras. Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang.
1. Mengenali dan mengelola keragaman masyarakat di Indonesia
Tidak ada masyarakat yang seragam. Setiap kelompok, baik di tingkat negara maupun di tingkat komunitas, dibangun atas berbagai macam identitas. Untuk dapat berfungsi dengan baik, kelompok tersebut harus mampu mengenali dan mengelola keragaman yang ada.
Identitas dan Salient Identity
Secara mudah, identitas dapat diartikan sebagai ciri yang melekat atau dilekatkan pada seseorang atau sekelompok orang. Beberapa identitas, misalnya ras dan usia, cenderung bersifat given. Beberapa lainnya lebih merupakan pilihan, seperti agama, ideologi, afiliasi politik, dan profesi. Di samping itu, ada pula identitas yang terkait dengan pencapaian, seperti pemenang/pecundang, kaya/miskin, pintar/bodoh.
Ada kalanya, sebuah identitas terkesan lebih mencolok atau berarti – dibanding lainnya. Sebelum penghapusan politik Apartheid misalnya, warna kulit menjadi identitas pembeda yang paling mencolok di Afrika Selatan. Pasca tragedi WTC, identitas Muslim/nonMuslim yang sebelumnya tidak terlalu mendapat perhatian menjadi penting bagi masyarakat Amerika Serikat.
Identitas agama dan etnisitas biasanya mendapatkan perhatian lebih. Bisa jadi, ini karena keduanya dianggap lebih rawan konflik dibandingkan identitas lain. Padahal, keragaman status sosial (kaya/miskin, ningrat/jelata, berpendidikan/tidak berpendidikan), kondisi fisik (sehat/sakit/diffable/butawarna), fungsi dan profesi (produsen/konsumen, guru/siswa, dokter/pasien), jenis kelamin, usia, afiliasi politik, ideologi, gaya hidup (moderat/militan), dan lain sebagainya juga perlu dikelola. Hal ini bukan semata untuk mengurangi potensi konflik, melainkan juga untuk memungkinkan pelayanan (publik) yang prima dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa. Sayang, slogan-slogan seperti Berbeda itu Indah, Bhinneka Tunggal Ika dan Unity in Diversity lebih ditujukan untuk mengelola keragaman agama dan etnisitas semata.
Jumlah, Struktur, dan Identitas Dominan
Does number count? Apakah jumlah berpengaruh? Pertanyaan ini penting dijawab ketika mengelola keragaman. Ada kalanya, ketidakselarasan hubungan sangat terkait dengan ketimpangan jumlah (mayoritas-minoritas). Namun, ketidakselarasan juga dapat timbul dari ketimpangan yang sifatnya lebih struktural seperti ketimpangan kekuasaan, sumber daya, pengaruh, keahlian, dan sebagainya.
Ketidakpekaan terhadap komposisi mayoritas-minoritas serta ketimpangan struktural berperluang memunculkan masalah. Beberapa di antaranya adalah:
Tirani mayoritas
Dalam kelompok yang komposisi mayoritas-minoritasnya mencolok, mekanisme-mekanisme pengambilan keputusan yang menekankan pada jumlah (sepert imisalnya voting) perlu dihindari karena cenderung melimpahkan kekuasaan pada mayoritas saja. Jika hubungan mayoritas-minoritas tidak kondusif, kekuasaan yang terpusat pada mayoritas dapat disalahgunakan. Salah satu contoh tirani mayoritas adalah ketika mayoritas kulit putih Amerika Serikat di awal abad 20 memilih disahkannya undang-undang segregasi berdasar warna kulit – akibatnya, orang kulit hitam hanya boleh duduk di bagian belakang bus, hanya boleh menggunakan kamar mandi khusus kulit hitam, hanya boleh menghadiri gereja dan sekolah kulit hitam, dll.
Ketidakterwakilan
Ada banyak hal yang menyebabkan ketidakterwakilan. Di antaranya adalah keberadaan minoritas atau kaum lemah yang “tidak nampak”, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, atau aspirasi mereka tidak dianggap penting. Rapat desa misalnya, biasanya hanya mengundang laki-laki dewasa. Contoh lain adalah pengambilan keputusan di lingkungan kampus atau asrama yang tidak dikonsultasikan dengan mahasiswa atau penghuni asrama.

Sistem dan sarana (publik) yang tidak ramah guna
Umumnya, proses merancang sistem dan sarana (publik) hanya disesuaikan dengan kebutuhan mayoritas atau kaum kuat. Hal ini dapat dilihat dari loket pelayanan, letak telfon di box telfon umum, serta lubang kotak pos yang terlalu tinggi untuk jangkauan anak-anak atau pengguna kursi roda.



Mengelola Keragaman
Ada banyak cara mengelola keragaman antara lain dapat dilakukan dengan:
• Untuk mendekonstruksi stereotip dan prasangka terhadap identitas lain
• Untuk mengenal dan berteman dengan sebanyak mungkin orang dengan identitas yang berbeda – bukan sebatas kenal nama dan wajah, tetapi mengenali latar belakang, karakter, ekspektasi, dll, makan bersama, saling berkunjung, dll
• Untuk mengembangkan ikatan-ikatan (pertemanan, bisnis, organisasi, asosiasi, dll) yang bersifat inklusif dan lintas identitas, bukan yang bersifat eksklusif
• Untuk mempelajari ritual dan falsafah identitas lain
• Untuk mengembangkan empati terhadap identitas yang berbeda
• Untuk menolak berpartisipasi dalam prilaku-prilaku yang diskriminatif



2. Memahami Masyarakat Multikultural
Pemahaman terhadap multikulturalisme sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari pengertian kebudayaan. Karena kata kebudayaan itulah, yang menjadi kunci pemahaman konsep multikulturalisme. Kebudayaan merupakan sekumpulan nilai moral untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaan.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Heterogenitas kekayaan budaya negara-bangsa Indonesia selama ini terekatkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Dengan kata lain, kekayaan budaya dapat bertindak sebagai faktor pemersatu, yang sifatnya majemuk dan dinamis. Tidak ada kebudayaan Indonesia, bila bukan terbentuk dari kebudayaan masyarakat yang lebih kecil.
Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial. Sehingga, bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat dan kelancaran tata kehidupan masyarakat.
Melihat kemajemukan Indonesia yang begitu luasnya – terdiri dari sedikitnya 500 suku bangsa, maka multikulturalisme hendaknya tidak hanya sekadar retorika, tetapi harus diperjuangkan sebagai landasan bagi tumbuh dan tegaknya proses demokrasi, pengakuan hak asasi manusia, dan akhirnya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Upaya itu harus dilakukan jika melihat berbagai konflik yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air, beberapa waktu lalu. Konflik itu mengindikasikan belum tuntasnya pembentukan masyarakat multikultural di Indonesia. Munculnya konflik antarsuku, misalnya, menunjukkan belum dipahaminya prinsip multikulturalisme yang mengakui perbedaan dalam kesetaraan. Penanaman nilai-nilai kesetaraan dalam perbedaan itulah yang senantiasa dilakukan secara aktif baik oleh tokoh masyarakat, tokoh partai, maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, pemahaman bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam kebudayaan harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesetaraan setiap warga masyarakat dan dijaminnya hak masyarakat tradisional merupakan unsur dasar dari prinsip demokrasi, yang terkandung pengakuan terhadap kesetaraan dan toleransi terhadap perbedaan dalam kemajemukan.
3. Kesetaraan dalam kehidupan masyarakat
Tuntutan kesetaraan mungkin belum beberapa abad terakhir ini di mulai oleh manusia. Tentunya seruan dengan suara kecil malah yang hampir tidak terdengar, pada ribuan tahun yang lalu sudah ada. Tingkatannya rakyat jelata, tetapi berkeinginan agar menjadi sepadan dengan para bangsawan, dengan para orang kaya serta berkuasa bahkan menjadi anggota kalangan Sang Baginda Raja. Kalau kita mau memikirkan masak-masak keinginan untuk setara itu, biasanya dan selalu datang dari pihak yang kurang beruntung untuk menyamai kaum yang sedang atau sudah beruntung.
Sudah adakah yang sebaliknya? Mungkin saja pernah ada dan contohnya bisa kita ambil misalnya saja seorang raja yang ingin hidup seperti rakyat biasa, seorang pemimpin atau khalifah yang amat merakyat. Mungkin yang dijalani oleh Siddharta Gautama Budha adalah seperti itu, seorang yang dilahirkan sebagai anak seorang raja Suddhodana yang memimpin bangsa Shakya. Daerah kekuasaan sang Raja Suddhodana, terletak di daerah yang pada jaman sekarang dikenal dengan nama Negara Nepal. Presiden Iran Achmad Dinejad adalah contoh lain yang paling mengena. Seorang penguasa seperti dia, masih hidup dirumahnya yang kecil sejak dia masih dosen, tidur bukan diatas tempat tidur, tetapi diatas kasur yang digelar dilantai, kalau bersembahyang di dalam masjid, dia duduk dimana saja, ditengah jemaah lain, tidak menuju ke saf paling depan seperti Presiden Indonesia, yang selalu begitu.
Kalau sekarang ini ada yang meneriakkan kesetaraan mungkin sekali adalah karena jurang yang memisahkan kaum yang merasa dirinya tidak setara dengan kaum yang ingin disetarai, semakin curam dan semakin lebar saja. Kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain.Republik kita yang sudah berumur tua untuk ukuran manusia, 62 tahun saja tidak ada keadilan dalam kehidupan berbangsa. Keadaan adil dan makmur yang menjadi idaman seluruh rakyat Indonesia tidak pernah datang sampai sekarang dan kemungkina besar juga di masa yang akan depan nanti.
Untuk mencapai kesetaraan itu sebaiknya dengan cara menaikkan derajat, peringkat, kondisi serta kemampuan setiap perorangan ketingkat yang diingininya, dengan upaya sendiri-sendiri untuk tahap awal. Ini adalah satu-satunya jalan. Jangan mengajak teman sejawat terlebih dahulu hanya untuk membentuk massa-mass forming. Mass forming seperti ini akan menjadi solid-utuh kalau para pembentuknya memang mempunyai peringkat yang setara dan sepadan. Kalau isi para pembentuknya tidak sama kemampuannya, visinya dan tugasnya, maka massa yang terbentuk akan tidak utuh serta mudah tercerai-berai. Yang memilukan adalah bahwa setiap orang yang mempunyai ambisi untuk menggerakan massa untuk mencapai kesetaraan, kurang mengamati sekelilingnya sendiri.
Dengan identitas pluralis dan multikulturalis itu bangunan interaksi dan relasi antara manusia Indonesia akan bersifat setara. Paham kesetaraan akan menandai cara berpikir dan perilaku bangsa Indonesia, apabila setiap orang Indonesia berdiri di atas realitas bangsanya yang plural dan multikultural itu. Identitas kesetaran ini tidak akan muncul dan berkembang dalam susunan masyarakat yang didirikan di atas paham dominasi dan kekuasaan satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia.


BAB III
3.1 KESIMPULAN
Di tengah arus reformasi dewasa ini, agar selamat mencapai Indonesia Baru, maka idiom yang harus lebih diingat-ingat dan dijadikan landasan kebijakan mestinya harus berbasis pada konsep Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, sekali pun berada dalam satu kesatuan, tidak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya bangsa ini berbeda-beda dalam suatu Keragaman.
Kesetaraan bisa di wujudkan dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah NKRI dan juga keadilan di dalam bidang hukum ( bahwa semua sama di di hadapan hukum ). Namun, jangan sampai kita salah langkah, yang bisa berakibat yang sebaliknya: sebuah konflik yang berkepanjangan.
Oleh karena itu Keragaman dan Kesetaraan harus di tanamkan sejak dini kepada generasi muda penerus bangsa.
3.2 SARAN
Sebagai makhluk individu yang menjadi satuan terkecil dalam suatu organisasi / kelompok manusia harus memiliki kesadaran diri terhadap realita yang berkembang di tengah masyarakat sehingga dapat menghindari masalah yang berpokok pangkal dari keragaman dan keserataan sebagai sifat dasar manusia.





DAFTAR PUSTAKA

Siswono Yudo Husodo. 2009. Pancasila dan keberlanjutan NKRI
( http://www.liveconector.com , dikutip tanggal 19 Oktober 2009 )

Ilmu Sosial Budaya Dasar
( http://yudihartono.wordpress.com/ )

M Zaid Wahyudi. 2009. Jadikan Toleransi sebagai Modal. Artikel-artikel
Islam ( http://ajaranislam.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
2009. Mengenali dan Mengelola Keragaman

( http://pdfdatabase.com, dikutip tanggal 20 Oktober 2009 )
Agung mulyana. “Memahami Masyarakat Multikultural”, Suara Karya,
30 November 2006

Ignatius Yunanto. 2008. Multikulturalisme sebuah perjuangan panjang bangsa
Indonesia. ( http://joenanto.multyply.com, diakses tanggal 20 Oktober 2009)

Rujito. 2009. Identitas Nasional Indonesia
( http://maharsi-rujito.blogspot.com, diakses tanggal 23 Oktober 2009 )

Tidak ada komentar: