Senin, 23 Mei 2011

kematangan emosi

KEMATANGAN EMOSI
ANALISIS KAJIAN

HAKEKAT EMOSI
Emosi adalah perasaan yang dirasakan oleh setiap manusia. Anthony Dio Martin (2003 : 24) menyebutkan bahwa emosi pada prinsipnya menggambarkan “perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena itu emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap situasi nyata, maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk”.
Stephen P. Robbin dalam bukunya yang berjudul Prilaku Organisasi (2006 : 143) “emosi adalah perasaan kuat yang diarahkan keseseorang atau sesuatu”.
Senada dengan definisi yang disampaikan oleh Fred Luthans (2006 : 326) dalam buku Prilaku Organisasi Edisi Sepuluh “Emosi adalah bagaimana orang merasakan sesuatu”.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa emosi adalah perasaan atau reaksi manusiawi yang diarahkan kepada seseorang atau sesuatu.



Sebagai contoh ketika seorang guru disebuah sekolah yang kehilangan suami karena termasuk korban tenggelammya kapal Senopati, kejadian ini membuat sedih sang guru dan membutuhkan dukungan moril dari seluruh anggota keluarga sekolah terutama Kepala Sekolah. Untuk menghadapi situasi ini emosi empatilah yang dibutuhkan dari teman guru, sebagai motivasi bahwa guru tersebut merasa bahwa dirinya diperhatikan dan dihargai.

HAKEKAT KEMATANGAN EMOSI
Kematangan Emosi yaitu kemampuan menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang negatif pula, melainkan dengan kebijakan (A.D Martin).
Maksudnya adalah jika seseorang menemui situasi negatif orang tersebut tidak lantas membalas dengan emosi yang yang negatif, tetapi ia akan menelaah dan memikirkan reaksi yang akan dikeluarkan agar tidak berdampak negatif pula sehingga emosi yang keluar adalah kebijakan.
Jadi sebenarnya kematangan emosi amat penting ketika manusia menghadapi atau berhubungan dengan orang lain. Dimana emosi yang ditampilkan akan berdampak pada diri sendiri atau orang lain.
Sebagai contoh ketika seorang sales manager dari sebuah farmasi yang sedang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi karena ada janji harus bertemu klien (dokter sebagai pelanggan), dan akan mempromosikan produknya. Namun tiba-tba ada mobil lain yang menyalip jalannya sehingga agak menyerempet dan membuat kaget sang manager. Dengan cepat sang manager turun dari mobil dan marah-marah dengan mengeluarkan kata-kata pedas dan menyinggung perasaan orang yang menyalip, sehingga terjadi baku hantam antar kedua orang tersebut.
Akhirnya kedua orang yang berkelahi tersebut tampak babak belur. Hal ini berakibat gagalnya rencana sang manager untuk bertemu dengan kliennya. Karena tidak mungkin untuk menemui klien dengan keadaan kusut dan muka penuh luka. Dan bagi orang yang menyalip pun tentu saja sama dengan sang manager gagal akan rencana dan masih menyimpan rasa sakit hati atas perkataan yang dilontarkan sang manager.
Contoh lain adalah cerita tentang seorang penguji piranti lunak (Michael McDermott) berusia 42 tahun yang bekerja pada perusahaan Konsultan internet di wilayah Boston, pada tanggal 26 Desember 2000 memasuki tempat kerjanya, bersenjatakan sepucuk senapan serbu AK-47, senapan berburu dan senjata genggam semi otomatis, dia membunuh tujuh rekan kerjanya. Mengapa? Dia diduga marah terhadap rencana majikannya karena mentaati tuntutan Internal Revenue Service untuk menahan sebagian dari gajinya guna melunasi pajak yang belum dibayar sebelumnya. Bagi McDermott, kemarahan memicu kekerasan.

Dari contoh kejadian di atas dapat kita lihat bahwa emosi yang tidak dikendalikan dapat berakibat buruk terhadap kegiatan kita maupun orang lain, meskipun sudah direncanakan dengan matang. Bahkan emosi ini dapat mengganggu produktivitas kerja, dan mengakibatkan stres, bahkan kematian.
Dampak ini telah diteliti oleh negara bagian Amerika Serikat yang dimuat diJournal of American psichological Association, data empiris menunjukan bahwa perkembangan emosi negatif di kantor mengakibatkan peningkatan kejadian pindah tempat kerja (turnover), absen dari jadwal kerja, bias komunikasi dan penyerangan secara fisik, juga stres, hilangnya jam produktif, tidak saling percaya antar rekan kerja, dan inefisiensi dalam pengambilan keputusan.
Penelitian lain yang ditemukan oleh Hans Selye dan kawan-kawan (1976) tentang adanya hubungan erat antara emosi negatif dengan munculnya stres. Lebih lanjut stres akan memicu timbulnya penyakit jantung, sakit kepala, gangguan mental tertentu, alergi, asma, dan juga kanker. Oleh karena itu penting kiranya untuk mengatur dan mengelola atau mengendalikan emosi demi mendapatkan “kematangan emosi” dalam diri kita.
Kematangan emosi didapat jika kita menyadari sepenuhnya emosi yang ada dan bagaimana mengeluarkannya. Orang yang memiliki kematangan emosi akan menjadi tuan atas emosinya, maksudnya ia akan mengatur emosi apa yang hendak dikeluarkannya. Sebagai contoh ketika melihat anak kita mencuri. Kita menyadari ada sebuah prinsip yang dilanggar, lalu kita menjadi marah kepada anak. Maka kemarahan ini termasuk cerdas, karena telah disadari. Artinya ada alasan yang jelas mengapa marah itu muncul.

JENIS – JENIS EMOSI
Agar dapat mengatur emosi maka perlu kiranya kita mengetahui jenis – jenis emosi menurut beberapa tokoh. Paul Ekman dan Richard Lazarus dalam A. D. Martin melakukan studi psikoantropologi pada suku-suku asli di berbagai belahan bumi, menemukan 6 emosi dasar manusia yang bersifat universal yakni: senang, marah, sedih, kaget, jijik dan takut.
Fred Luthans berpendapat bahwa tidak ada kesepakatan total mengenai jenis utama emosi, dan ia merangkum emosi utama kedalam dua jenis penggolongan yaitu : emosi positif terdiri dari cinta/afeksi, bahagia/gembira, terkejut, dan emosi negatif terdiri dari takut, sedih, marah, muak dan malu.
Sementara itu Stephen P. Robbins mengemukakan bahwa jumlah emosi mencapai lusinan. Salah satu cara untuk mengklasifikasikannya adalah mengelompokan apakah emosi tersebut positif atau negatif. Emosi yang positif seperti kebahagiaan dan harapan, mengungkapkan penilaian atau perasaan yang menyenangkan. Emosi negatif seperti kemarahan atau kebencian, mengungkapkan sebaliknya.
Penelitian telah mengidentifikasi enam emosi universal : kemarahan, ketakutan, kesedihan, kegembiraan, kejijikan, dan keterkejutan. Para peneliti cenderung mencari ekspresi wajah yang teridentifikasi secara universal dan selanjutnya mengelompokkannya ke dalam kategori – kategori.

Pada gambar di atas mengilustrasikan bahwa keenam emosi tersebut dianggap selalu ada dalam kontinum.

MANFAAT EMOSI
Dalam pembahasan ini perlu kiranya kita mengetahui sejauh mana emosi dapat bermanfaat bagi manusia. Adapun manfaat-manfaat tersebut antara lain:
Survival :
yaitu emosi yang berfungsi sebagai perjuangan untuk bertahan hidup. (sebagai contoh ketika seseorang dipukul oleh orang lain maka siapapun orangnya pasti akan marah)

Energizer :
Yaitu emosi sebagai pembangkit energi, yang memberikan kegairahan dalam kehidupan manusia. (ketika kita mencintai orang di satu kantor, tentu kita akan bersemangat datang untuk bekerja. Atau sebaliknya jika kita putus cinta maka merasa hari-hari suram dan tidak berenergi untuk bekerja)
Messeger :
Yaitu emosi merupakan sebagai pembawa pesan. (Pada saat melihat wajah teman yang sedang sedih, tentu kita tidak bisa bergurau sembarangan seperti pada saat teman kita nampak sedang bergembira)
Reinforcer :
Yaitu berfungsi untuk memperkuat pesan atau informasi yang disampaikan. (Sewaktu mengatakan kalimat “Apakah anda mengerti maksud saya?” dengan nada biasa atau datar. Beda dengan “Anda mengerti tidak maksud saya?!” dengan nada marah sambil menunjuk-nunjuk orang yang ditanya.
Balancer :
Yaitu emosi sebagai penyeimbang hidup. (Ketika sedih kehilangan orang yang dicintai lalu kita menangis. Atau melihat kejadian lucu kita tertawa).

KAJIAN EMOSI DARI SUDUT PANDANG ANATOMI
Demikianlah manfaat dari emosi terhadap diri kita. setelah kita mengetahui bahwa emosi sangat erat kaitannya dalam kehidupan manusia, maka perlu kiranya kita mengetahui hasil kajian emosi ditinjau dari sudut pandang anatomi manusia agar pengetahuan kita menjadi lebih komprehensif.
Mula-mula perlu kita pahami dua struktur penting dalam otak manusia. Pertama adalah ‘limbik’, sistem pusat emosi manusia. Dan yang kedua sistem ‘neokorteks’, pusat berpikirnya manusia. Pada limbik itulah terdapat ‘amygdala’, bagian otak yang mengakses informasi yang kita peroleh melalui sebuah sistem dibagian ‘thalamus’, lalu memberi reaksi terhadap apa yang dialami. Di amygdala inilah terletak memori emosi manusia. Impuls-impuls yang terjadi di amygdala erat terkait dengan lobus prefrontal. Kadang-kadang reaksi emosi yang menuju atau kearah amygdala bisa terjadi tanpa dipikir, atau tidak melalui korteks, sehingga reaksi yang timbul pun lebih sulit diprediksi.
Untuk lebih jelasnya perhatikan ilustrasi sederhana terjadinya emosi pada seseorang. Pada umumnya, suatu peristiwa atau kejadian tertentu, pertama-tama akan diterima melalui panca indera kita (mata, telinga). Dari panca indera suatu stimulus akan dihubungkan ke bagian thalamus. Secara umum bagian thalamus adalah bagian yang berperan seperti ‘lampu lalu lintas’ dalam otak kita. Thalamus-lah yang mengarahkan proses jalannya stimulus yang diterima. Dari thalamus ini suatu stimulus dapat diarahkan ke dua alternatif : pertama ke otak bagian korteks kita, atau kedua, langsung diarahkan menuju ke sistem limbik, dimana terdapat bagian yang disebut amygdala.
Dari gambaran diatas dapat kita buat bagan seperti berikut :
Stimulus


Panca indera
(mata, telinga)
Thalamus
(sebagai lampu lalu lintas)
Otak bagian korteks
Sistem limbik
Sebagai contoh ada seorang manager mendapati hasil pekerjaan anak buahnya terlambat dan banyak kesalahan. Peistiwa ini mula-mula akan diteruskan ke bagian thalamus, yakni bagian yang akan menentukan akan dibawa kemanakah stimulus tersebut. Umpamanya, stimulus ini oleh thalamus dilanjutkan kebagian korteks dimana proses penalaran terjadi. Di sini, korteks akan menerjemahkan apa yang telah dilihatnya. Misalkan hasil terjemahannya adalah : “lagi-lagi hasil kerja mereka terlambat dan berantakan. Kalau begitu mungkin mereka ini dasarnya pemalas!” Berikutnya hasil pengolahan informasi ini akan dilanjutkan ke amygdala, si pencetus perasaan. Besar kemungkinan emosi yang muncul kemudian adalah perasaan sebel, jengkel atau marah.

Gbr diambil dari buku EQM Anthony Dio Martin hal. 96
Bisa juga sesampainya di thalamus, stimulus mengalami jalan pintas (shortcut) langsung menuju amygdala. Misalkan saat melihat pekerjaan anak buahnya yang berantakan, si manager teringat bahwa kejadian ini pernah dialaminya dulu. Tanpa pikir panjang ia membuang kertas kerja anak buahnya itu ke lantai dan berteriak, : “Bodoh! Pekerjaan begini saja tidak becus!” Simanager ini tidak dapat lagi mengendalikan perasaan jengkel dan marah yang dirasakannya. Namun setelah melihat anak buahnya terpukul, tersadarlah ia. Dalam hatinya ia menyesali tindakannya yang terlalu keras terhadap anak buahnya yang masih baru.
Mari kita buat skenario yang berbeda. Seandainya setelah menerima laporan anak buahnya yang berantakan si manager itu lantas mencernanya terlebih dahulu. Artinya, kejadian itu tidak langsung diteruskan ke amygdala, tapi dipikir dahulu melalui akal sehat dibagian korteks-nya. Misalkan, “Inikan anak buah yang baru, mungin dia masih belum mengerti”. Dengan pernyataan ini maka korteks akan meneruskan informasinya ke bagian amygdala. Akhirnya besar kemungkinan emosi yang akan muncul bukanlah emosi marah yang meledak-ledak melainkan lebih tenang.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa sebenarnya bisa saja proses emosi terjadi melalui suatu jalan pintas, yakni dari thalamus langsung menuju ke amygdala. Emosi di amygdala pun lantas memicu tindakan yang kadang tak terkendali. Untuk itu perlu kiranya kita melatih dan mengembangkan kematangan emosi agar dapat terkendali seperti skenario terakhir yang telah digambarkan di atas.

ENABLER (PENDORONG) KEMATANGAN EMOSI
Anthony Dio Martin dalam bukunya yang berjudul Emotional Quality Management (EQM), kematangan emosi di dapat dengan cara disiplin. Ada tahapan yang perlu dijalankan untuk mengembangkan kematangan emosi, yang disebut dengan istilah “enabler” (pendorong).
Enabler ini merupakan rangkaian yang sistematis. Satu pendorong yang akan memampukan (enabling) serta mempengaruhi pendorong berikutnya. Enabler terdiri dari tingkatan yang harus dicapai dari satu tingkatan/tahapan ke tahapan selanjutnya. Pada setiap tingkatan akan mempengaruhi tingkatan selanjutnya. Enabler bersifat akumulatif.
Ada 4 (empat) enabler penting bagi kematangan emosi yakni :
1. Emotional awareness (Penyadaran emosi)
Pada tahapan yang pertama ini adalah pentingnya “Penyadaran Emosi”. Dalam kehidupan sehari-hari kematangan emosi dapat dimulai dengan menyadari apa yang terjadi di sekeliling kita.
Ada cerita untuk memudahkan kita mengerti tentang penyadaran emosi. Ada seorang bangsawan yang ingin mencapai pencerahan hidup supaya ia lebih dihormati lagi. Maka pergilah ia menemui seorang guru disebuah kuil terkenal di kota itu. Setelah mengutarakan maksudnya kepada seorang guru di sana, si guru berkata, “Baiklah. Jika kamu mau mencapai pencerahan hidup ada pertanyaan yang harus kau jawab sebelumnya. Bagaimana caramu tadi menaruh payung dan sandal kayumu di luar. Yang mana disebelah kiri, dan mana disebelah kanan?” Bangsawan itu bingung lalu keluar untuk mengecek. Ia kembali pada si guru. Namun sebelum menjawab ia sudah diberi pertanyaan lagi,”Waktu kamu keluar tadi apakah kamu tahu berapa jumlah anak tangga didepan pintu masuk tempat kamu menaruh sandalmu?” Terpaksa ia keluar kuil untuk menghitung anak tangga dimaksud. Setelah kembali, sebelum menjawab ia ditanya lagi,”Tahukah kamu berapa anak tangga yang sudah rusak batunya?” Bangsawan itu malu sekali, karena lagi-lagi ia tak bisa menjawab. Maka akhirnya si guru berkata, “Bagaimana kamu mau mengalami pencerahah jika apa yang terjadi dalam hidupmu saja kamu tidak tahu?”
Dari cerita tersebut, kita sadari bahwa sering kali kita tidak menyadari situasi atau sesuatu yang ada disekitar kita, meskipun mereka berada sangat dekat dengan kita dan setiap hari melihatnya. Namun kita tidak menyadari apa dan bagaimana situasi atau sesuatu tersebut. Sehingga jika kita ditanya kembali tentang situasi dan sesuatu tersebut kita tidak dapat menjawab dengan baik.
Demikian juga dengan emosi, layaknya situasi sering kali kita tidak menyadarinya. Banyak orang yang sulit merasakan emosinya sendiri karena pengalaman traumatis yang pernah dialami, atau karena memang terbiasa sejak kecil untuk tidak banyak berbicara atau mengekspresikan perasaannya. Padahal kemampuan untuk menyadari dan merasakan emosi merupakan kunci yang membedakan kita dengan binatang, robot atau komputer.
Orang yang sulit merasakan perasaannya sendiri akan berakibat sulit pula merasakan perasaan orang lain. Sebagai contoh sering kali sebuah kemarahan datang dari hal yang sepele. Karena terakumulasi dan bertumpuk, pada akhirnya tumpah keluar dan berbentuk sumpah serapah, makian atau bahkan tindakan fisik seperti kasus manager pemasaran yang sudah diceritakan sebelumnya. Namun biasanya kesadaran itu datangnya terlambat kareka kita sudah terlanjur melakukan sesuatu yang `tidak semestinya` akibat timbunan emosi yang begitu tinggi.
Kasus pada manager pemasaran tersebut bisa saja karena sudah terlalu bayak kemarahan-kemarahan yang dipendam dan tidak disalurkan baik dalam bentuk menceritakan permasalahannya kepada orang lain atau dalam bentuk tulisan yang berisi perasaannya. Sehingga bertemu dengan kejadian seperti itu emosi mulai tinggi dan meluap keluar.
Ada sebuah penelitian menarik mengenai pentingnya penyadaran emosi yang pernah dilakukan oleh James Pennebaker (1993) yang meneliti tentang perbedaan kualitas hidup antara mereka yang menyadari emosinya dengan yang tidak. Subyek penelitian adalah 63 orang sales yang di PHK dari sebuah perusahaan yang sudah bangkrut. Para salesman ini dibagi secara random menjadi dua kelompok, masing-masing diberi tugas yang berbeda. Kelompok pertama mendapat tugas untuk membuat catatan harian, tentang apa yang dialami dan dirasakan setelah mereka di PHK. Kelompok kedua tidak diberi tugas apapun, dibiarkan saja melakukan apapun yang mereka inginkan.
Sekitar 8 bulan kemudian hasilnya dicoba diteliti kembali untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kedua kelompok ini. Bagaimana hasilnya? Ternyata hasilnya cukup mengejutkan. Pada kelompok pertama, 53% ternyata sudah kembali mendapatkan pekerjaan. Sementara pada kelompok kedua hanya sekitar 18% yang kembali mendapatkan pekerjaan. Tingkat antusiasme kelompok pertama untuk mendapatkan pekerjaan ternyata juga jauh lebih tinggi pada kelompok pertama.
Setelah dikaji lebih jauh muncullah jawabannya. Kelompok pertama mendapat manfaat dari kegiatan menulis catatan harian. Ketika mereka menulis, terbitlah kesadaran akan apa yang mereka rasakan, takut akan hilangnya penghasilan. Ada yang merasa malu dengan tetangga dan kerabatnya karena tidak punya pekerjaan. Ada lagi yang merasa cemas dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Kesadaran akan perasaan-perasaan ini selanjutnya mendorong mereka untuk segera mengambil langkah untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Disinilah akhirnya Pennebaker menyimpulkan pentingnya penyadaran perasaan bagi kelompok pertama ini.

2. Emotinal Acceptance (Penerimaan Emosi)
Tahapan kedua dalam kematangan emosi adalah penerimaan diri. Dalam tahapan ini kita belajar menerima diri apa adanya. Bagaimana kita memahami kelebihan dan kekurangan diri apa adanya. Kerap terjadi munculnya penolakan luar biasa terhadap diri pribadi. Kita merasa diri penuh dengan kekurangan dan kelemahan. Kita merasa diri kita lebih buruk , lebih hina, lebih rendah, lebih kurus atau lebih gemuk, Lebih bodoh dan lebih `kurang` dibanding orang lain.
Perasaan lebih `kurang` dari orang lain tersebut dapat mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri, stres atau malah menjadi orang yang membuat masalah terhadap orang lain. Sebagai contoh ada dari seorang siswa SMP yang menjadi anak yang bermasalah di sekolahnya. Ia sering kali membuat keributan di dalam kelas, berkelahi dengan temannya, suka menyendiri, tidak konsentrasi dalam belajar bahkan mengkonsumsi narkoba.
Setelah penulis selidiki ternyata siswa adalah seorang anak yang terlahir dari ibu yang “MBA” (marriage by acciden), ia mengetahui hal ini dari tanggal akta kelahirannya yang lebih dulu dibanding dengan tanggal pernikahan kedua orang tuanya. Ayahnya pun dari penampilan fisik kurang sempurna (kakinya cacat sebelah).
Kejadian tersebut membuat marah dan malu, ia merasa dirinya hina, dan tidak percaya diri, sehingga ia melampiaskan kekesalan dirinya pada lingkungan dan merusak diri dengan mengkomsumsi narkoba.
Gambaran di atas adalah salah satu dari sekian banyak atas permasalahan yang ada di sekeliling kita. Betapa banyak orang yang menghabiskan waktu, uang serta tenaga berjam-jam untuk memoles tampak luarnya, karena ingin menutupi kekurangan dan kelemahan yang terdapat di dalam dirinya.
Kecerdasan emosional mengajarkan bahwa harga diri membangun rasa percaya diri. Sulitnya harga diri terkadang tidak sepenuhnya ditentukan oleh diri kita sendiri. Orang lain pun akan turut memberikan andil. Namun yang jelas harga diri itu harus dimulai dari diri sediri terlebih dahulu.
Saatnya bagi kita untuk membuka hati dan pikiran lebar-lebar, dan dengan tajam dan terbuka melihat diri secara jujur, serta menerima dengan ikhlas. Jika kita telah dapat menerima diri baik kelebihan dan kekurangannya, maka akan dengan mudah kita menerima orang lain dengan lebih baik.
Bahasa inggris mempunyai pepatah yang bagus dalam hal menerima orang lain yang artinya : untuk memahami seseorang kita harus mencoba menempatkan diri kita pada posisinya. Mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh orang tersebut. Hal ini akan membuat kita tidak cepat mengambil kesimpulan, berprasangka dan menghakimi.
Dengan menempatkan diri kita pada posisi orang lain, akan membawa kita untuk memahami apa yang dirasakan orang lain. Hal ini akan mempermudah kita berkomunikasi dengan lancar, karena kita mengetahui reaksi apa yang harus kita perlihatkan berdasarkan kemampuan kita membaca dan menyimpulkan yang sudah kita latih (tekhnik validating).
Tekhnik validating jika kita asah akan mengembangkan rasa empati yang tinggi. Dimana empati juga merupakan salah satu kunci utama kecerdasan emosional. Karena dengan empati kita dapat menerima dan merefleksikan diri atas emosi yang telah dan akan ditampilkan. Dan dengan empati juga kita dapat menerima orang lain apa adanya, bukan seharusnya.
3. Emotional Affection (Sikap Emosi)
Tahapan ketiga adalah emotinal affection yaitu cara berinteraksi dengan orang lain. Adapun prinsip-prinsip utama dalam emotinal affection yang mesti direnungkan adalah :
- Individual differences
Setiap manusia adalah unik. Tak pernah ada manusia yang sama persis, meskipun orang tersebut kembar. Didalam kemiripan seseorang pasti ada bedanya.
Perbedaan tersebut dikarenakan kebutuhan dasar, proses mental, sikap dan cara berpikir berbeda satu dengan yang lainnya, dan akan menimbulkan minat, kebiasaan dan karakter setiap orang yang berbeda-beda pula.
Sebagai contoh dalam merespon sebuah kritikan, pasti pada diri setiap orang akan berbeda-beda. Adanya yang merespon secara terbuka karena mungkin orang tersebut menginginkannya sebagai bahan untuk lebih introspeksi diri. Tapi dipihak lain ada yang merespon dengan emosi yang tinggi karena merasa dirinya di telanjangi.

- Different Treatment
Prinsip pertama melahirkan prinsip kedua : kita tidak bisa memperlakukan setiap orang dengan sama.
Dalam pemahaman keberbedaan ini tentu akan mengembangkan cara kita dalam menghadapi tiap-tiap orang yang berbeda. Kita tidak mungkin menyamakan gaya reaksi kita kepada satu orang dengan yang lainnya. Apa yang menyenangkan untuk satu orang belum tentu menyenangkan untuk orang lain. Juga hal yang mencemaskan untuk kita, belum tentu mencemaskan bagi orang lain.

- Starting from Me
Cara terbaik membangun suatu hubungan emosi yang mendalam adalah memulainya dari diri kita sendiri. Jika kita sering menyalahkan diri sendiri, dan selalu melihat sisi negatif, maka kita akan sulit untuk berhubungan dengan orang lain. Karena kita akan membuat benteng sebelum kita berhubungan dengan orang lain.

- Golden Rule
Prinsip sebenarnya dari golden rule ini adalah, ‘jika kita tidak mau dicubit maka kita tidak boleh mencubit’. Jadi kita tidak boleh menyakiti orang lain kalau kita tidak mau disakiti orang lain.
- Risk Talking
Hubungan dengan orang lain tentu akan mengandung resiko. Ada resiko ditolak, diperlakukan tidak baik, atau paling tidak resiko diberi penilaian tidak baik.

Berdasarkan prinsip di atas, yang utama adalah kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan, bukan mengontrol. Semakin kita berharap untuk dapat mengontrol orang lain, semakin kita memaksa diri untuk mengendalikan orang itu. Semakin kuat harapan untuk mengubahnya sesuai dengan keinginan, kita akan semakin frustasi. Untuk itu kitalah yang harus menyesuaikan.
Dalam proses menyesuaikan diri dibutuhkan kesabaran yang amat sangat. Karena dengan kesabaranlah kita akan dapat mengontrol diri dalam menghadapi situasi yang tak pernah kita duga. Seperti yang dituliskan Jamal Madhi (2001: 19) “Kesabaran terdapat di dalam jiwa. Berlaku sabar terhadap musuh adalah sikap yang dapat mengalahkannya. Mereka juga bersabar sebagaimana kita bersabar”.

4. Emotinal Affirmation (Penguatan Emosi)
Tahapan ini adalah tahapan tertinggi dan terpenting dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini kita akan bergerak dan bertindak, dan berbicara soal aksi yang membutuhkan keberanian serta kesanggupan mengambil resiko-resiko emosi.
Ketika berhubungan dengan orang lain sering kali kita harus mempertimbangkan resiko emosi yang harus kita tanggung. Risiko dimarahi, dibenci, dikucilkan, diremehkan dan sebagainya. Kenyataannya resiko emosi kadang berefek jauh lebih menakutkan, mendalam dan traumatis dari pada peristiwanya itu sendiri. Ketika seorang anak tidak naik kelas yang akan lebih dirasakan bukannya menyesal karena tidak naik kelas.Tetapi justru rasa malu dihadapan dan keluarga.
Begitu sering orang menjadi gagal atau tidak sukses hanya karena masalah yang sangat sederhana : emosinya tidak mendukung. Banyak orang yang memiliki visi, khayalan atau angan-angan yang indah, namun visi tersebut dirusak atau dihambat oleh rasa khawatir, rasa takut, rasa cemas yang menyelimuti pencapaian visi tersebut. ini akhirnya yang menyebabkan orang tersebut gagal.
Dibutuhkan tenaga ekstra luar biasa untuk bisa melawan rasa khawatir,rasa takut dan rasa cemas (baik dalam bentuk kata-kata maupun tindakan) yang menghambat kita mencapai visi dan cita-cita.
Unsur penguatan emosi sering kali timbul dikarenakan beberapa faktor seperti pola asuh orang tua, lingkungan dimana ia tinggal, kebutuhan ekonomi yang mendesak, adanya dendam dalam diri dan lain sebagainya.
Sebagai contoh seseorang yang hidup dengan selalu serba kekurangan dan sering menjadi cemoohan hingga pernah dilecehkan orang lain, hal ini dapat berakibat pada rasa sakit hati yang mendalam sehingga timbul tekad ia harus berusaha untuk menjadi orang sukses hingga dapat menunjukan bahwa dirinya mampu kepada orang yang telah melecehkannya.
Kejadian tersebut di atas banyak juga yang mengalaminya, seperti halnya Mat Jenni seorang tukang sol sepatu yang bosan atas kemiskinan yang ia jalani. Sehinnga membuat ia bertekad untuk merubah nasibnya meskipun harus dengan jalan menjual cincin kawinnya yang digunakan sebagai modal. Dengan penguatan emosi yang tinggi akhirnya Mat Jenni kini menjadi seorang jutawan dalam usahanya dibidang multi level marketing.
Begitu banyak orang yang mampu tegar dan justru bangkit dalam situasi yang terhimpit dan tidak menyenangkan. Banyak yang jatuh namun bangkit lagi, sehingga mereka sampai pada kejayaannya. Kehidupan yang besar justru diperoleh dari semangat juang untuk melakukan yang terbaik. Kekuatan yang lahir dari otot-otot emosi yang terlatih menghadapi kegetiran, kepahitan serta kesengsaraan hidup. ‘Kekuatan Emosi!’ itu kuncinya.

KESIMPULAN
Emosi adalah perasaan atau reaksi manusiawi yang diarahkan kepada seseorang atau sesuatu.
Kematangan Emosi yaitu kemampuan menerima hal-hal negatif dari lingkungan tanpa membalasnya dengan sikap yang negatif pula, melainkan dengan kebijakan.
Kematangan Emosi amat penting ketika manusia menghadapi atau berhubungan dengan orang lain. Dimana emosi yang ditampilkan akan berdampak pada diri sendiri atau orang lain.
Paul Ekman dan Richard Lazarus menemukan 6 emosi dasar manusia yang bersifat universal yakni: senang, marah, sedih, kaget, jijik dan takut.
Fred Luthans merangkum emosi utama kedalam dua jenis penggolongan yaitu : emosi positif terdiri dari cinta/afeksi, bahagia/gembira, terkejut, dan emosi negatif terdiri dari takut, sedih, marah, muak dan malu.
Stephen P. Robbins mengelompokan apakah emosi tersebut positif atau negatif. Emosi yang positif seperti kebahagiaan dan harapan, mengungkapkan penilaian atau perasaan yang menyenangkan. Emosi negatif seperti kemarahan atau kebencian, mengungkapkan sebaliknya.
Penelitian telah mengidentifikasi enam emosi universal : kemarahan, ketakutan, kesedihan, kegembiraan, kejijikan, dan keterkejutan.

Adapun manfaat-manfaat emosi bagi manusia antara lain:
1. Survival
2. Energizer
3. Messeger
4. Reinforcer
5. Balancer
Ada 4 (empat) enabler penting bagi kematangan emosi yakni :
Emotional awareness (Penyadaran emosi)
Dalam kehidupan sehari-hari kematangan emosi dapat dimulai dengan menyadari apa yang terjadi di sekeliling kita. Demikian juga dengan emosi, layaknya situasi sering kali kita tidak menyadarinya. Padahal kemampuan untuk menyadari dan merasakan emosi merupakan kunci yang membedakan kita dengan binatang, robot atau komputer.
2. Emotinal Acceptance (Penerimaan Emosi)
Dalam tahapan ini kita belajar menerima diri apa adanya. Bagaimana kita memahami kelebihan dan kekurangan diri apa adanya.
Jika kita telah dapat menerima diri baik kelebihan dan kekurangannya, maka akan dengan mudah kita menerima orang lain dengan lebih baik.
Empati adalah dapat menerima dan merefleksikan diri atas emosi yang telah dan akan ditampilkan. Dan dengan empati juga kita dapat menerima orang lain apa adanya, bukan seharusnya.
3. Emotional Affection (Sikap Emosi)
Tahapan ketiga adalah emotinal affection yaitu cara berinteraksi dengan orang lain. Adapun prinsip-prinsip utama dalam emotinal affection yang mesti direnungkan adalah :
§ Individual differences
§ Different Treatment
§ Starting from Me
§ Golden Rule
§ Risk Talking
Yang utama adalah kita harus menyesuaikan diri dengan keadaan, bukan mengontrol.
4. Emotinal Affirmation (Penguatan Emosi)
Tahapan ini adalah tahapan tertinggi dan terpenting dari tahapan-tahapan sebelumnya. Pada tahapan ini kita akan bergerak dan bertindak, dan berbicara soal aksi yang membutuhkan keberanian serta kesanggupan mengambil resiko-resiko emosi.
Begitu banyak orang yang mampu tegar dan justru bangkit dalam situasi yang terhimpit dan tidak menyenangkan. Banyak yang jatuh namun bangkit lagi, sehingga mereka sampai pada kejayaannya. Kehidupan yang besar justru diperoleh dari semangat juang untuk melakukan yang terbaik. Kekuatan yang lahir dari otot-otot emosi yang terlatih menghadapi kegetiran, kepahitan serta kesengsaraan hidup. ‘Kekuatan Emosi!’ itu kuncinya.






REKOMENDASI
Beberapa langkah dapat dilakukan untuk mengembangkan kematangan emosi:
lebih sering mengasah atau melatih hal yang positif dalam menjalani hidup
Lebih sering mengasah perasaan agar lebih terasah dalam penerimaan emosi diri dan orang lain
Tetap menjaga kualitas emosi demi tercapai pengembangan dalam kematangan emosi
Peningkatan kualitas kematangan emosi harus dipandang sebagai proses seumur hidup, untuk itu membutuhkan waktu dan keyakinan

DAFTAR PUSTAKA
Albin, Rochelle Semmel, Emosi : Bagaimana Mengenal , Menerima dan
Mengarahkannya, Jakarta : Kanisius, 1986
Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
Jakarta : Arga, 2001
Luthans, Fred, Prilaku Organisasi Edisi Sepuluh, Yogyakarta : Andi
Yogyakarta, 2006
Martin, Anthony Dio, Emotonal Quality Management, Jakarta : Arga, 2003
Peale, Norman Vincent, Berpikir Positif, Jakarta : Binapura Aksara, 1996
Robbins, Stephen P, Perilaku Organisasi, Jakarta : Gramedia, 2006

Tidak ada komentar: