Selasa, 29 Juni 2010

DIABETES MELLITUS

Diabetes melitus atau masyarakat luas mengenalnya sebagai penyakit glukosa atau kencing manis, merupakan penyakit endokrin akibat defek dalam sekresi dan kerja insulin atau keduanya sehingga terjadi defisiensi insulin dimana tubuh mengeluarkan terlalu sedikit insulin (absolut) atau insulin yang dikeluarkan resisten (resisten) sehingga mengakibatkan kelainan metabolisme kronis berupa hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi kronik pada sistem tubuh seperti glikosuria, poliuria, rasa haus, rasa lapar, badan kurus, dan kelemahan.

ANATOMI

Pankreas adalah organ yang mempunyai fungsi endokrin dan eksokrin, terletak di bagian posterior gaster dan berhubungan erat dengan duodenum sebagai sistem pencernaan. Dalam fungsi eksokrin, pankreas terdiri dari kelenjar asini dan sistem duktus yang membawa sekret pankreatik ke duodenum. Sedangkan dalam fungsinya sebagai kelenjar endokrin, pankreas terdiri dari pulau-pulau (islet) Langerhans yang terdiri dari sel α (alfa) yang memproduksi glukagon, sel β (beta)yang memproduksi insulin, dan sel δ (delta)yang memproduksi somatostasin. Untuk memudahkan, dapat dilihat pada tabel berikut :
Sel Hormon Struktur Jaringan target Respon
Alfa (α) Glukagon Polipeptida Terutama hati Meningkatkan pemecahan glikogen, melepaskan glukosa ke sirkulasi
Beta (β) Insulin Protein Terutama hati, otot rangka, jaringan adiposa Meningkatkan uptake dan pemakaian glukosa dan asam amino
Delta (δ) Somatostatin Peptida Sel alfa dan sel beta (somatostasin juga diproduksi si hipothalamus) Menghambat sekresi insulin dan glukagon

FISIOLOGI
Telah disebutkan sebelumnya bahwa insulin dihasilkan oleh sel β pankreas sebagai hormon yang dilepaskan oleh pankreas, merupakan zat utama yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar glukosa darah yang tepat. Insulin menyebabkan glukosa berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi. Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar glukosa darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah menurun secara perlahan.
Gen insulin manusia terdapat pada lengan pendek dari kromoson 11. Insulin disekresikan sebagai preproinsulin. Preproinsulin adalah suatu peptida rantai panjang dengan BM 11.500. Preproinsulin ini diarahkan ke retikulum endoplasma oleh sinyal dari rangkaian pemandu/sequence yang bersifat hidropfobik. Disini akan terjadi proses pembelahan molekul preproinsulin oleh enzim-enzim mikrosomal menghasilkan molekul proinsulin (BM kira-kira 9000).
Proinsulin diangkut ke badan golgi dimana berlangsung proses pengemasan menjadi granula-granula sekretorik berlapis klatrin. Granula-granula yang matang mengandung insulin yang terdiri dari 51 asam amino yang terkandung dalam 21 asam amino rantai α dan 30 asam amino rantai β serta C-peptida. Dan akhirnya insulin disekresikan dari pankreas 40-50 unit/hari (15-20% dari penyimpanan )
Sekresi insulin dapat berlangsung secara :
 Sekresi insulin basal yaitu terjadi tanpa adanya rangsangan eksogen,ini merupakan jumlah insulin yang disekresikan dalam keadaan puasa.
 Sekresi insulin yang dirangsang karena adanya respon terhadap rangsang eksogen. Sejumlah zat yang terlibat dalam pelepasan insulin disini adalah :
 Glukosa yang merupakan trigger pelepasan insulin paling poten. Glukosa masuk kedalam sel β pankreas secara difusi pasif yang diperantarai protein membran yang spesifik disebut Glukosa Transpoter 2 sehingga akan merangsang sekresi insulin
 Asam Amino, asam lemak, dan badan keton.
 Faktor hormonal. Saraf β adrenergik merangsang sekresi insulin yang mungkin dengan cara peningkatan cAMP intrasel. Paparan yang terus menerus dengan hormon pertumbuhan, kortisol, laktogen plasenta, estrogen, progestin dalam jumlah yang berlebihan juga meningkatkan sekresi insulin.
 Preparat farmalologik : • Senyawa sulfonilurea
• Tolbutamid
Mekanisme kerja insulin dimulai dengan berikatannya insulin dengan reseptor glikoprotein yang spesifik pada permukaan sel sasaran. Reseptor ini terdiri dari 2 subunit yaitu:
 subunit α yang besar dengan BM 130.000 yang meluas ekstraseluler terlibat pada pengikatan molekul insulin.
 subunit β yang lebih kecil dengan BM 90.000 yang dominan di dalam sitoplasma mengandung suatu kinase yang akan teraktivasi pada pengikatan insulin dengan akibat fosforilasi terhadap subunit β itu sendiri (autofosforilasi).
Reseptor insulin yang sudah terfosforilasi melakukan reaksi fosforilasi terhadap substrat reseptor insulin (IRS -1). IRS-1 yang terfosforilasi akan terikat dengan domain SH2 pada sejumlah protein yang terlibat langsung dalam pengantara berbagai efek insulin yang berbeda.
Pada dua jaringan sasaran insulin yang utama yaitu otot lurik dan jaringan adiposa, serangkaian proses fosforilasi yang berawal dari daerah kinase teraktivasi tersebut akan merangsang protein-protein intraseluler, termasuk Glukosa Transporter 4 untuk berpindah ke permukaan sel. Jika proses ini berlangsung pada saat pemberian makan, maka akan mempermudah transport zat-zat gizi ke dalam jaringan-jaringan sasaran insulin tersebut.
Kelainan reseptor insulin dalam jumlah, afinitas ataupun keduanya dapat mempengaruhi kerja insulin. Down reglukosation adalah jumlah ikatan reseptor insulin jadi berkurang sebagai respon kadar insulin dalam sirkulasi yang meninggi kronik, contohnya adanya kortisol dalam jumlah yang berlebihan.
Sebaliknya jika kadar insulin rendah, maka ikatan reseptornya akan mengalami peningkatan kondisi ini terlihat pada keadaan lapar atau puasa.
Insulin akan menimbulkan manifestasi seperti di bawah ini :

HATI OTOT JARINGAN ADIPOSA
1. membantu glikogenesis
2. meningkatkan sintesis trigliserida, kolesterol, VLDL
3. meningkatkan sintesis protein
4. menghambat glikogenolisis
5. menghambat ketogenesis
6. menghambat glukoneogenesis 1. membantu sintesis protein dengan :
• meningkatkan transport asam amino
• merangsang sintesis protein ribosomal
2. membantu sintesis glikogen 1. membantu penyimpanan trigliserida
2. meningkatkan transport glukosa ke dalam sel lemak
3. menghambat lipolisis intraseluler

PATOFISIOLOGI
Kadar glukosa darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa darah yang normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya. Kadar glukosa darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif karena pada saat melakukan aktivitas fisik kadar glukosa darah juga bisa menurun karena otot menggunakan glukosa untuk energi.
Dilihat dari kadar insulin dalam tubuh penderita maka diabetes dapat digolongkan menjadi dua yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2.
DIABETES MELLITUS TIPE 1
Diabetes tipe 1 atau disebut juga Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) karena ketergantungannya terhadap insulin. Awalnya DM tipe 1 disebut sebagai diabetes juvenilis karena dapat diderita pada bayi dan anak-anak. Defisiensi insulin pada DM tipe 1 bersifat absolut sehingga menyebabkan penderita harus mendapat suplai insulin dari luar karena tanpa pemberian insulin eksogen ini, pasien akan jatuh dalam dekompensasi metabolik yang berat, ketoasidosis, sampai kematian dalam waktu yang pendek. Keadaan ini disebabkan karena lesi pada sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Banyak hal yang dapat menyebabkan DM tipe 1. Menurut The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of DiabetesMellitus, didapat 2 subklasifikasi untuk DM tipe 1, yaitu Immune mediated (DM 1A) dan Idiopathic (DM 1B).
 DIABETES MELLITUS 1A
DM 1A terjadi karena adanya immune mediated atau mekanisme autoimun. Walaupun masih spekulatif dan belum lengkap, hasil penelitian pada manusia dan hewan model menunjukkan bahwa interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan berperan dalam mekanisme patogenesis DM 1A. Namun, tahapan perjalanan penyakit dan mekanisme patogenesis DM 1A sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Berbagai kemungkinan perjalanan penyakit DM 1A adalah :
• linier - sekali proses autoimun dicetuskan, proses tersebut akan menetap serta berlanjut dengan perjalanan yang progresif.
• acak -sesudah proses autoimun dicetuskan dapat mengalami fluktuasi dengan periode-periode remisi dan kambuhan (relaps) disertai abnormalitas metabolik dan imunologik yang juga berfluktuasi. Proses autoimun tersebut mungkin dapat bersifat sementara (transient) dan reversibel.


PERJALANAN PENYAKIT
Perjalanan DM 1A dapat dibagi menjadi beberapa tahap diawali dengan kerentanan genetik dan diakhiri (dari sudut pandang imunologi dengan destruksi sel β yang menyeluruh :
1. Tahap I : kerentanan genetik
2. Tahap II : pemicu autoimunitas
3. Tahap III : destruksi sel β oleh proses autoimunitas
4. Tahap IV : hilangnya sekresi insulin
Faktor genetik diduga mempengaruhi setiap tahap perkembangan penyakit. Pada beberapa individu yang mengekspresikan alel yang protektif, walaupun menunjukkan adanya autoantibodi di dalam serumnya tetapi dapat juga tidak berlanjut menjadi DM 1A.

TAHAP I. RISIKO GENETIK
Diabetes tipe 1A merupakan bentuk immune mediated diabetes dengan kausa genetik yang diketahui sebagai bagian dari sindrom autoimun. Pada kembar identik (monozigotik) pasien DM 1A mempunyai risiko menderita DM 1A sebesar 50%. Konsisten dengan heterogenitasnya, risiko tersebut sangat bervariasi. Usia awal (onset) timbulnya penyakit menentukan risiko kembarannya. Bila kembarannya menderita DM sebelum usia 5 tahun, risiko saudara kembarnya menjadi diabetes melampaui 50%. Sebaliknya bila saudara kembarnya menderita diabetes sesudah usia 25 tahun, risiko kembarannya kurang dari 10%.
Indivdu dengan mutasi gen Autoimmune Reglukosator (AIRE) menimbulkan immune mediateddiabetes. Pada manusia, gen-gen utama yang terkait dengan DM 1A adalah gen HLA DR dan DQ. Selain gen-gen HLA DQ dan DR, didapatkan paling sedikit 15 lokus gen yang memegang peran dalam kerentanan diabetes pada, walaupun peran setiap lokus tersebut relatif kecil (polygenic inheritance).
Bagaimana mekanisme kerentanan dan proteksi tersebut berlangsung sampai saat ini belum jelas. Diduga kegagalan seleksi-maturasi sel T di timus menyebabkan banyaknya sel T yang mengekspresikan sekaligus CD4+ dan CD8+ lolos di sirkulasi perifer sehingga sel-sel tersebut tidak mampu membedakan self dan non-self.

TAHAP II : PEMICU (TRIGGERING)
Autoimunitas anti-islet (misal: autoantibodi insulin), insulitis dan immune mediated diabetes dapat dicetuskan dengan berbagai manipulasi imunologik dan genetik. Pemberian poly-IC (poly inosinic cytodylic acid) pada strain tikus normal yang rentan terhadap diabetes akan menimbulkan insulitis dan pada sebagian tikus yang lain menimbulkan diabetes yang nyata (overt) dengan destruksi sel β. Poly-IC berinteraksi dengan reseptor Toll 3 sistim imun innate yang berakibat serangkaian peristiwa imunologik
intrasel yang dimediasi sitokin. Poly-IC menirukan virus RNA double stranded dalam menimbulkan DM 1A pada individu yang rentan.
Berbagai strain mencit yang normal dengan cepat akan membentuk autoantibodi terhadap insulin bila dihadapkan dengan peptida insulin. Bila peptida tersebut diberikan bersama dengan poly-IC, insulitis akan terinduksi dan pada mencit yang rentan diabetes dapat terinduksi juga. Berbagai studi dengan model binatang menunjukkan bahwa binatang normal mempunyai limfosit B dan T yang autoreactive yang dapat diperbanyak dan diaktifkan, dengan hasil akhir diabetes. Walaupun strain-strain tersebut normal, tetapi mereka mempunyai varian-varian molekul MHC yang menentukan kerentanan penyakit, dengan cara mempengaruhi responsi sel T terhadap peptida yang relevan. Molekul MHC kelas II (equivalen dengan DR and DQ pada manusia) tampaknya mungkin mempengaruhi timbulnya diabetes dengan cara mengikat peptida yang sesuai dan mempresentasikan pada sel T di dalam sel islet, atau dengan mempengaruhi T cell repertoir di timus.
Pada manusia, faktor lingkungan yang mencetuskan autoimunitas anti-islet sebagian besar masih belum diketahui. Infeksi kongenital diketahui meningkatkan risiko DM 1A, dan berbagai kelainan autoimun (seperti autoimunitas tiroid). Infeksi rubella kongenital dikaitkan dengan meningkatnya risiko DM 1A. Diduga infeksi kongenital merusak sistim imun yang sedang tumbuh dan menyebabkan kerentanan berbagai penyakit meningkat.
Enterovirus mungkin merupakan faktor lingkungan yang paling banyak diteliti. Para ahli mengkaitkan antibodi virus Coxsackie dan virus RNA tipe 1 dengan DM 1A. Dengan mengukur timbulnya autoantibodi anti-islet, studi di Finlandia membuktikan bahwa infeksi dengan enterovirus dikaitkan dengan timbulnya autoimunitas anti-islet. Peran faktor makanan dalam kaitannya dengan risiko DM 1A juga telah diteliti secara ekstensif. Salah satu hipotesis menyebutkan bahwa susu sapi yang diberikan pada bayi, terutama pada bulan-bulan pertama dikaitkan dengan timbulnya diabetes. Penelitian dari Denver, Munich, dan Melbourne tidak mendukung hipotesis tersebut. Saat ini belum ada data yang cukup kuat yang mengkaitkan diet pada bayi dengan risiko diabetes.
Namun, faktor lingkungan diduga selain meningkatkan risiko timbulnya diabetes, tetapi mungkin juga memberikan proteksi. Dalam kurun waktu tiga dekade insidensi diabetes, khususnya diabetes yang timbul pada usia 5 tahun atau kurang, meningkat secara dramatis tiga kali lipat. Peningkatan seperti itu tidak dapat dijelaskan dari perubahan genetik. Satu hipotesis mengemukakan bahwa lingkungan yang makin “bersih” menyebabkan perkembangan sistem imun yang normal akan terganggu (misal : perkembangan yang subnormal reglukosatory T cell) dengan akibat meningkatnya penyakit-penyakit yang dimediasi Th2 (asthma) dan Th1 (DM tipe 1). Studi mengungkapkan adanya kemungkinan berkurangnya infeksi dengan cacing kremi dengan meningkatnya risiko DM 1A.

TAHAP III : AUTOIMUNITAS
Pada anak yang beresiko DM 1A dan diikuti perkembangannya sejak lahir, insulin autoantibodies pada umumnya merupakan autoantibodi pertama yang muncul. Autoantibodi tersebut dapat muncul pada 6 bulan pertama usia bayi. Sekali autoantibodi insulin tersebut muncul pada usia yang sedemikian muda maka risiko timbulnya autoantibodi-autoantibodi islet-cell yang lain serta terjadinya DM 1A meningkat. Lebih dari 90% anak dengan DM 1A yang timbul sebelum usia 5 tahun mempunyai insulin autoantidodies, bila DM 1A timbul sesudah usia 12 tahun insulin autiantibodies hanya didapatkan pada kurang dari 50%.
Terapi insulin pada penderita dapat menginduksi insulin antibodi yang sampai saat ini belum dapat dibedakan dengan insulin autoantibodi. Oleh sebab itu pada pendeita yang telah mendapat terapi insulin selama beberapa minggu, insulin autoantibodi yang positif tidak dapat diinterpretasikan. Semua autoantibodi yang diperiksa pada 9 bulan pertama usia anak mungkin diperoleh dari ibu yang menderita DM 1A dan mendapat terapi.
Keberadaan autoantibodi tunggal hanya dikaitkan denganpeningkatan risiko progresi menjadi DM 1A sekitar 20%. Bila didapatkan dua atau lebih autoantibodi (GAD65, ICA512, atau insulin) maka progresi menjadi diabetes sangat tinggi, dan bila diikuti selama 10 tahun mencapai lebih dari 75%. Bila didapatkan beberapa autoantibodi, umumnya autoantibodi-autoantibodi tersebut tetap terekspresi sampai individu tersebut menjadi diabetes yang nyata (overt). Sesudah diabetesnya timbul, autoantibodi tersebut akan menghilang. ICA512 menghilang lebih cepat dibanding dengan GAD65 (lebih dari 10 tahun). Pada pasien yang sudah lama menderita diabetes, transplantasi pankreas atau islet cell, ekspresi GAD65 dan ICA512 dapat diinduksi kembali.
Tetapi tidak semua juga individu dengan 2 atau lebih autoantibodi berkembang menjadi DM 1A. Misalnya, pada individu yang mempunyai 2 autoantibodi atau lebih dan mempunyai molekul HLA yang protektif, risiko diabetesnya tidak diketahui. Diabetes dapat tidak timbul pada individu yang mempunyai alel HLA DQB1*0602 yang protektif walaupun titer autoantibodi tinggi.

TAHAP IV. HILANGNYA SEKRESI (PRODUKSI) INSULIN
Secara umum dapat dikatakan bahwa DM 1A timbul pada individu yang secara genetik rentan atau kehilangan proteksi, terpapar oleh suatu agen pencetus dari lingkungan sehingga terjadi proses autoimun yang berlanjut sampai sebagian besar sel b mengalami kerusakan dan musnah.
Saat ini belum ada cara yang secara pasti dapat mengukur masa sel β dan progresi hilangnya sel β. Hanya sebagian kecil individu yang menyandang alel gen yang rentan berlanjut menjadi DM 1A. Tampaknya serangan autoimun berlangsung melalui beberapa tahap dan setiap tahap memerlukan berbagai gen atau faktor lingkungan yang “sesuai” agar proses perjalanan penyakit dapat terus berlangsung atau berhenti. Mungkin timing untuk setiap peristiwa juga penting dalam menentukan kelanjutan proses perjalanan penyakit.
Bukti yang menunjukkan hilangnya secara progresif fungsi sel β diperoleh dari pengukuran sekresi insulin dan C-peptida. Sesudah onset diabetes terbukti bahwa sekresi C-peptida berkurang secara progresif sampai pada akhirnya tidak terdeteksi. Hal tersebut menunjukkan ketergantungan terhadap insulin eksogen yang sesungguhnya.
Pada saudara kandung pasien DM 1A, sekresi insulin fase pertama pasca bolus glukosa intra vena juga berkurang. Fenomena tersebut mendahului timbulnya diabetes. Gangguan tersebut mungkin akibat dari hambatan fungsional sekresi sel β. Akan tetapi studi patologi menunjukkan bahwa pada kembar identik pasien yang tidak menunjukkan aktivitas autoimunitas anti-islet, masa sel β normal. Pada pasien diabetes yang baru sebagian besar massa sel β telah rusak. Di dalam pankreas pasien diabetes tipe 1 didapatkan gambaran islet lesion yang heterogen.
Sebagian besar sel β islet telah hilang dan tidak dijumpai adanya infiltrasi limfosit (pseudotrophic islet). Beberapa islet yang normal tanpa infiltrasi limfosit, serta sebagian islet dengan sisa sel β dijumpai infiltrasi limfosit. Hal tersebut mungkin analog dengan timbulnya vitiligo yang progresif pada kulit, di mana didapatkan bercak-bercak kulit dengan melanosit yang rusak, sedangkan sebagian kulit normal.

 DIABETES MELLITUS TIPE 1B
Seperti tang tersirat dari namanya maka dapat kita simpulkan bahwa diabetes mellitus tipe 1b ini tidak diketahui penyebabnya. Pada penderita DM tipe 1B ini tidak ada autoantibodi yang terbentuk namun produksi insulinnya berkurang.
GEJALA
Sebagian penderita DM tipe 1 mungkin mengalami proses yang tidak lengkap, karena perjalanan destruksi sel β yang lambat, dapat tampil secara klinis sebagai DM tipe 2 dengan petanda autoimun (+) sehingga tidak pernah timbul ketoasidosis spontan karena sisa masa sel β masih selalu cukup. Namun dapat timbul ketoasidosis spontan lama sesudah kejadian hiperglikemia yang pertama diidentifikasi. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita DM tipe 1 bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius.
Sebagian individu lagi menunjukkan perjalanan yang sangat akut (fulminant). Hiperglikemia yang berat sampai ketoasidosis dan koma timbul beberapa hari sesudah gejala yang mirip influenza (flu-like). Dan biasanya bila terjadi kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan penderita DM tipe 1 hampir selalu mengalami penurunan berat badan. Dan hal ini dapat berkembang dengan cepat menuju keadaan ketoasidosis diabetikum. Kadar glukosa di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan glukosa tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). HbA1c biasanya masih normal dan hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi hiperglikemia tersebut masih baru terjadi.
DIABETES MELLITUS TIPE 2
Pada diabetes mellitus tipe 2 (Non Insulin-Dependent Diabetes Mellitus, NIDDM), pankreas tetap menghasilkan insulin, malah terkadang kadarnya lebih tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk resisten terhadap efeknya, sehingga terjadi kekurangan insulin relatif.
Penyebab resisitensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidakbegitu jelas, tetapi obesitas sentral (tubuh berbentuk seperti buah apel), diet tinggi kolesterol, diet rendah karbohidrat, kurang gerak badan, serta factor keturunan dalam resistensi itu sendiri banyak berperan sebagai penyebabnya. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor pencetus utama DM tipe 2 adalah obesitas, 80-90% penderitanya mengalami obesitas.
Penyebab DM tipe 2 lainnya adalah:
1. Kadar kortikosteroid yang tinggi
2. Kehamilan (diabetes gestasional)
3. Obat-obatan
4. Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin
GEJALA
Gejala awal DM tipe 2 berhubungan dengan efek langsung dari kadar glukosa darah yang tinggi. Jika kadar glukosa darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka urine akan mengandung glukosa. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan urine jumlah yang berlebihan, maka penderita akan mengalami poliuria. Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Akibat poliuria maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori akan hilang ke dalam urine, dan penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).
KOMPLIKASI
Glukosa direduksi menjadi sorbitol di dalam sel yang mengandung enzim aldosareduktase. Sorbitol tidak dapat melalui membran sel. Pada keadaan hiperglikemia, sorbitol dapat menumpuk di dalam sel dan akhirnya membengkak. Akibat penumpukan sorbitol di lensa mata akan terjadi penarikan air yang selanjutnya merusak kejernihannya atau katarak. Sedangkan sel yang tidak dapat mengambil glukosa dalam jumlah yang cukup akan menyusut karena hiperosmolaritas ekstrasel. Fungsi limfosit yang telah menyusut akan terganggu karena itu pasien diabetes rentan terhadap infeksi.
Penumpukan sorbitol di sel Schwann dan neuron akan mengurangi konduksi saraf (polineuripati diabetikum) yang terutama mempengaruhi SSO, refleks, dan fungsi sensorik.Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu saraf mengalami mononeuropati, maka lengan atau tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke tangan, tungkai, dan kaki mengalami kerusakan, maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti terbakar dan kelemahan. Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera karena penderita tidak dapat meredakan perubahan.
Hiperglikemia meningkatkan pembentukan protein plasma yang mengandung gula, seperti fibrinogen, haptoglobin, makroglobulin α, sera factor pembekuan V-VII. Maka pembekuan dan viskositas darah cenderung meningkat sehingga rawan terjadi trombosis. Jika massa ini menempel di pembuluh darah maka akan menyebabkan emboli dan memicu ateroskerosis, pembuluh darah menebal dan mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf. Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat lemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes terutama pria. Sehingga sirkulasi yang buruk melalui pembuluh darah besar dan kecil dapat melukai jantung, otak, tungkai, mata, ginjal, saraf dan kulit dan memperlambat penyembuhan luka. 70-75% kematian DM disebabkan oleh aterosklerosis. Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus dan semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam dan mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama sehingga sebagian tungkai harus diamputasi.
Akhirnya, glukosa dapat bereaksi dengan HbA membetuk HbA1c. HbA1c ini memiliki afinitas oksigen yang lebih tinggi daripada HbA sehinga pelepasan oksigen di perifer akan berkurang. Setiap peningkatan HbA1c 1% meningkatkan resiko gagal jantung sebesar 8%. Hiperglikemia memicu peningkatan akumulasi kolagen di miokardium yang mengganggu fungsi sistolik dan diastolik. Hiperglikemia juga mengubah protein kinase C sehingga meningkatkan stres oksidatis, meningkatkan kemampuan aktivitas angiotensin converting enzyme dan komponen lain dari system renin-angiotensin-aldosteron.
Karena hal tersebut diatas, maka penderita diabetes bisa mengalami berbagai komplikasi jangka panjang yang serius. Yang lebih sering terjadi adalah serangan jantung dan stroke. Kerusakan pembuluh darah mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan (retinopati diabetikum). Kelainan fungsi ginjal menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani dialisa.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah, ditunda atau diperlambat dengan mengontrol kadar glukosa darah.
DIAGNOSA
Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya (polidipsi, polifagi, poliuria) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar glukosa darah yang tinggi. Dengan kemajuan pengetahuan dan teknik pemeriksaan yang ada, saat ini perkembangan seseorang yang akan menjadi DM 1 dapat dipantau dan diidentifikasi. Tampaknya autoantibodi-autoantibodi anti-islet dapat mendahului kejadian hiperglikemia sampai beberapa tahun pada penderita DM tipe 1A. Biasanya gangguan toleransi glukosa (dengan tes toleransi glukosa intravena) sudah mulai terlihat lebih dari 1 tahun sebelum mulai timbulnya (onset) diabetes. Mayoritas individu tersebut menunjukkan peningkatan glukosa darah 2 jam pasca muatan glukosa (200 mg%) dan bukan peningkatan glukosa darah puasa. Sebagian pasien datang dalam kondisi yang akut dengan hiperglikemia yang berat serta ketoasidosis yang mengancam jiwa. Sekitar 1/200 anak-anak meninggal dunia pada saat onset DM 1.
Tapi ternyata diketahui bahwa petugas kesehatan sering gagal menegakkan diagnosis diabetes pada pertemuan pertama. Anak tersebut kemudian datang lagi dalam kondisi yang jauh lebih buruk dan meninggal karena oedem otak. Gejala dan keluhan klasik seperti poliuria, polidipsi dan berat badan yang menurun biasanya didapatkan akan tetapi diagnosis awal diabetes tetap luput. Mual dan muntah yang menyertai biasanya menyebabkan diagnosis yang salah. Diagnosis (alternatif) yang paling sering diajukan adalah infeksi virus. Seharusnya dengan ketersediaan pemeriksaan glukosa darah yang mudah (dengan menggunakan glucosemeter) kesalahan tersebut seharusnya dapat lebih ditekan.
Untuk mengukur kadar glukosa darah, sampel darah diambil setelah penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil setelah makan. Pada usia diatas 65 tahun, paling baik jika pemeriksaan dilakukan setelah berpuasa karena setelah makan, usia lanjut memiliki peningkatan glukosa darah yang lebih tinggi.
Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah tes toleransi glukosa. Tes ini dilakukan pada keadaan tertentu, misalnya pada wanita hamil. Penderita berpuasa dan contoh darahnya diambil untuk mengukur kadar glukosa darah puasa. Lalu penderita meminum larutan khusus yang mengandung sejumlah glukosa dan 2-3 jam kemudian contoh darah diambil lagi untuk diperiksa.
BUKAN DM PREDIABETES DM
Kadar gula darah sewaktu (mg/dL) Plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200
Darah kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
Kadar gula darah puasa (mg/dL) Plasma vena < 100 100 – 125 ≥1265

PENGOBATAN
Tujuan utama pengobatan diabetes mellitus adalah untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam kisaran yang normal. Kadar glukosa darah yang benar-benar normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang adalah semakin berkurang. Idealnya, kadar glukosa darah puasa adalah 100 mg/dL.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet. Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur dan mengontrol kadar glukosa darahnya. Tetapi kebanyakan penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olah raga yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin untuk penderita diabetes tipe 1 atau obat hipoglikemik per-oral untuk tipe 2.
Pengaturan diet sangatlah penting bagi kedua tipe diabetes. Penderita tidak boleh terlalu banyak makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur serta memahami pola diet dan olah raga untuk mengontrol penyakitnya. untuk mengontrol kadar glukosa darah dan berat badan. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya.
Selain itu, penting pula memperhatikan nilai HbA1c yang idealnya < 1,5%. Penderita juga harus memberikan perhatian khusus terhadap infeksi kaki. Juga diharapkan untuk rutin memeriksakan mata agar cepat diketahui bila ada perubahan yang terjadi pada pembuluh darah di mata.
TERAPI SULIH INSULIN
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin ini hanya dapat dilakukan melalui suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat diberikan per-oral. Insulin disuntikkan dibawah kulit ke dalam lapisan adiposa lengan, paha atau dinding perut. Dan untuk mengurangi rasa nyeri, jarum yang digunakannya sangat kecil. Saat ini, bentuk insulin yang baru yaitu secara inhalasi sedang dalam penelitian, namun laju penyerapannya yang berbeda masih menimbulkan masalah dalam penentuan dosisnya.
Sediaan insulin ini bersifat stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan sehingga bisa dibawa kemana-mana. Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan lama kerja yang berbeda:
1. Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler, yang bekerja paling cepat dan paling sebentar. Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar glukosa dalam waktu 20 menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam. Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum makan.
2. Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10 jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
3. Insulin kerja lama.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
Pemilihan bentuk insulin yang akan digunakan tergantung kepada:
1. Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya
2. Keinginan penderita untuk memantau kadar glukosa darah dan menyesuaikan dosisnya
3. Aktivitas harian penderita
4. Kecekatan penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya
5. Kestabilan kadar glukosa darah sepanjang hari dan dari hari ke hari.
Sediaan yang paling mudah digunakan adalah suntikan sehari sekali dari insulin kerja sedang. Tetapi sediaan ini memberikan kontrol glukosa darah yang paling minimal. Kontrol yang lebih ketat bisa diperoleh dengan menggabungkan 2 jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang. Suntikan kedua diberikan pada saat makan malam atau ketika hendak tidur malam. Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin kerja cepat tambahan pada siang hari.
Beberapa penderita lansia memerlukan sejumlah insulin yang sama setiap harinya. Sebagian penderita lainnya perlu menyesuaikan dosis insulinnya tergantung kepada makanan, olah raga dan pola kadar glukosa darahnya.
Penyuntikan insulin dapat mempengaruhi kulit dan jaringan dibawahnya pada tempat suntikan. Kadang terjadi reaksi alergi yang menyebabkan nyeri dan rasa terbakar, diikuti kemerahan, gatal dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan selama beberapa jam. Suntikan sering menyebabkan terbentuknya endapan lemak (sehingga kulit tampak berbenjol-benjol) atau merusak lemak (sehingga kulit berlekuk-lekuk). Komplikasi tersebut bisa dicegah dengan cara mengganti tempat penyuntikan dan mengganti jenis insulin. Pada pemakaian insulin manusia sintetis jarang terjadi resistensi dan alergi.
OBAT-OBAT HIPOGLIKEMIK PER-ORAL
1. Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar glukosa darah secara adekuat pada penderita diabetes tipe 2, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe 1. Contohnya adalah glipizid, gliburid, tolbutamid dan klorpropamid. Obat ini menurunkan kadar glukosa darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
2. Metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri.
3. Acarbose yang dapat diberikan sebagai monoterapi amaupun kombinasi. Obat ini menghambat penyerapan glukosa dengan mengikatnya dan dapat dikonsumsi pada penderita DM tipe 2 gemuk maupun kurus. Obat ditelan bersamaan dengan suapan pertama sewaktu makan.
Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe 2 jika diet dan olahraga gagal menurunkan kadar glukosa darah secara adekuat. Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa penderita memerlukan 2-3 kali pemberian. Jika obat hipoglikemik per-oral tidak dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan baik, mungkin perlu diberikan suntikan insulin.
PEMANTAUAN PENGOBATAN
Pemantauan kadar glukosa darah merupakan bagian yang penting dari pengobatan diabetes. Adanya glukosa bisa diketahui dari urine, tetapi pemeriksaan urine bukanlah cara terbaik untuk memantau pengobatan atau menyesuaikan dosis pengobatan. Saat ini kadar glukosa darah dapat diukur sendiri dengan mudah oleh penderita di rumah. Dan penderita diabetes harus mencatat kadar glukosa darah mereka dan melaporkannya kepada dokter agar dosis insulin atau obat hipoglikemiknya dapat disesuaikan.
MENGATASI KOMPLIKASI
Insulin eksogen maupun obat hipoglikemik per-oral dengan dosis yang terlalu tinggi dapat sangat menurunkan kadar glukosa darah sehingga terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia juga bisa terjadi jika penderita kurang makan atau tidak makan pada waktunya atau melakukan olah raga yang terlalu berat tanpa makan.
Jika kadar glukosa darah terlalu rendah, organ pertama yang terkena efeknya adalah otak. Untuk melindungi otak, tubuh segera mulai membuat glukosa dari glikogen yang tersimpan di hati. Proses ini melibatkan pelepasan epinefrin (adrenalin), yang cenderung menyebabkan rasa lapar, kecemasan, meningkatnya kesiagaan dan gemetar. Berkurangnya kadar glukosa darah ke otak bisa menyebabkan sakit kepala.
Hipoglikemia harus segera diatasi karena dalam beberapa menit saja dapat menjadi berat, menyebabkan coma dan kadang cedera otak menetap. Jika terdapat tanda hipoglikemia, penderita harus segera makan glukosa. Karena itu penderita diabetes harus selalu membawa permen, glukosa atau tablet glukosa untuk menghadapi serangan hipoglikemia. Atau penderita segera minum segelas susu, air glukosa atau jus buah, sepotong kue, buah-buahan atau makanan manis lainnya. Penderita diabetes tipe 1 harus selalu membawa glukagon, yang bisa disuntikkan jika mereka tidak dapat memakan makanan yang mengandung glukosa.
GEJALA HIPOGLIKEMIA
1. Rasa lapar yang timbul secara tiba-tiba
2. Sakit kepala
3. Kecemasan yang timbul secara tiba-tiba
4. Badan gemetaran dan berkeringat
5. Bingung
6. Penurunan kesadaran, coma
PENANGANAN KETOASIDOSIS DIABETIKUM DAN LAINNYA
Ketoasidosis diabetikum merupakan suatu keadaan darurat. Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan yang tepat dan cepat, bisa terjadi koma dan kematian. Penderita harus dirawat di unit perawatan intensif dan diberikan sejumlah besar cairan intravena dan elektrolit (natrium, kalium, klorida, fosfat) untuk menggantikan yang hilang melalui urine yang berlebihan.
Insulin diberikan melalui intravena sehingga langsung dapat bekerja dengan dosis yang disesuaikan. Kadar glukosa, keton, dan elektrolit darah diukur setiap beberapa jam, sehingga pengobatan yang diberikan terus dapat disesuaikan. Sampel darah arteri diambil untuk mengetahui keasamannya. Pengendalian kadar glukosa darah dan penggantian elektrolit biasanya bisa mengembalikan keseimbangan asam basa, tetapi kadang perlu diberikan pengobatan tambahan untuk mengoreksi keasaman darah.
Pengobatan untuk koma hiperglikemiak-hiperosmolar non-ketotik sama dengan pengobatan untuk ketoasidosis diabetikum. Diberikan cairan dan elektrolit pengganti. Kadar glukosa darah harus dikembalikan secara bertahap untuk mencegah perpindahan cairan ke dalam otak. Kadar glukosa darah cenderung lebih mudah dikontrol dan keasaman darahnya tidak terlalu berat.
Jika kadar glukosa darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang berkembang secara progresif. Retinopati diabetik dapat diobati secara langsung dengan pembedahan laser untuk menyumbat kebocoran pembuluh darah mata sehingga bisa mencegah kerusakan retina yang menetap. Terapi laser dini bisa membantu mencegah atau memperlambat hilangnya penglihatan.





Kesimpulan
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik dimana penderitanya mempunyai kadar glukosa darah tinggi akibat berkurangnya produksi insulin oleh sel beta pankreas ataupun resistensi terhadap hormon insulin itu sendiri. DM dibagi menjadi dua tipe yaitu (1) DM tipe 1 yang dibagi lagi menjadi subtipe 1A dan 1B dan (2) DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan kurangnya insulin dalam tubuh karena adanya autoantibodi atau idiopatik. Sedangkan DM tipe 2 dikarenakan adanya resistensi insulin yang terutama obesitas. Untuk itu, para penderita DM harus mengontrol kadar glukosa darahnya dengan diet dan olahraga bahkan dengan obat hiperglikemik oral ataupun dengan terapi insulin eksogen.






Daftar Pustaka :
Dokter Kita Edisi 1-Tahun III-Januari 2008
Dokter Kita Edisi 9-Tahun II-September 2007
Rod R. Seeley, Trent D. Stephens, Philip Tate. Anatomy & Physiology. Mc Graw-Hill : 2003
Stefan Silbernagl. Lang, Florian. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC : 2006
http://www.prodia.co.id/files/FD/fdiag_3_2002.pdf
http://www.sehatgroup.web.id/articles/isiArt.asp?artID=18

Tidak ada komentar: